In The Name of Allah The Most Beneficent, The Most Merciful
I testify that there's no God but Allah, and Muhammad (pbuh) is His messenger.
What time had done to us?
Seorang sahabat yang saya kasihi kerana Allah menghantar ini
ke halaman Facebook saya.
Credits |
Berserta caption “Setiap kali
hujan saya hanya teringat kepada seseorang.” Kemudian disebutnya nama saya.
Untuk seketika, saya terpempan
jadinya, why all of a sudden?
Saya titipkan di ruang komen, “Can
I ask why?”
Dia menjawab, “Hang kan tak boleh
kena hujan. Haha.”
It took me hours to realize that I
was once so vulnerable to rain. I was even forgot that yeah, I used to be that
low-immune teen growing up to have a high one.
Menetap hampir dua tahun di bumi
yang jarang sekali ditimpa hujan membuat saya lupa kalau di tanah sendiri saya
seringkali lemah menghadapi hujan. Mesir yang purata taburan hujannya hanyalah 20
-200mm setahun membuatkan saya seperti anak kecil mendapat gula-gula apabila
hujan turun menimpa tanah. Bagaimana mungkin untuk saya mampu membuat endah tidak
endah pada anugerah Tuhan yang satu ini? Hujan itukan satu anugerah. Saya sudah
tidak memikirkan kebarangkalian untuk jatuh sakit setiap kali saya mensyukuri
hujan. Kerana hal itu sudah lama sekali tidak terjadi.
Dulu mungkin ya, saya lemah
sekali. Imun badan saya rendah kerana acapkali pasca terdedah kepada hujan,
saya demam panas. Mungkin sebagai perlindungan, saya menjauhkan diri daripada
hujan. Namun mungkin juga bukan kerana itu, tapi kerana saya telah menjadikan
kelemahan saya sebagai alasan untuk bermanja-manja dengan keadaan.
Kalau saya bisa kembali ke masa
silam,
Credits :It's Teme |
Sengaja saya gunakan Bahasa ibunda mudah-mudahan mesejnya sampai. Ada sesuatu yang perlu dikhabarkan. Kadangkala kemewahan
dan keselesaan hidup mencampakkan kita ke dalam gaung kemanjaan dan kealpaan.
Kita seronok sekali berada di dalamnya, kita tidak terfikir untuk keluar. Tapi
memandangkan dunia dan seisinya hanyalah fana’.
No state is eternal.
Yang abadi
hanyalah Tuhan. Kemewahan, keselesaan pun segeralah beransur pergi. Yang di
depan kita sekarang kesempitan dan kesukaran untuk didaki. Lalu dengan segala
keterbatasan yang ada, kita sebenarnya terus mendaki untuk melihat apa yang
Tuhan sediakan untuk kita setibanya di puncak.
Kita tumbuh dan membesar saban
hari untuk mempelajari hal-hal yang makin sukar.
Kita menduduki peperiksaan
tahun ini untuk menghadapi tahun depan yang lebih mencabar.
Kita berjalan di
daerah ini untuk sampai ke daerah yang lebih jauh tak terjangkakan.
Kita
memikul beban amanah saat ini buat persiapan menghadapi masa depan yang lebih
rencam.
Kita tidak berpatah balik ke belakang. Dan kita tidak mempelajari hal
yang lebih mudah daripada apa yang kita hadapi sekarang. Namun bagaimana kita
menyikapinya adalah yang lebih utama.
Benar, apa yang menanti di depan
adalah terlebih sukar dan tersangat rencam. Namun ia akan menjadi mudah
sekiranya kita sudah terbiasa dengan kesusahan sekarang. Dan ia akan menjadi
biasa sekiranya kita punyai jiwa besar yang luar biasa. Bukankah, alah bisa tegal
biasa?
Pesan seorang murabbiah yang
dititip sewaktu riadah, kita ini bersifat dengan sifat air, kerana komposisi
tubuh manusia terdiri daripada 63% air. Bukankah di dalam Al-Quran Tuhan ada
menyebut bahwa asal kita adalah air? [ Al-Anbiya’ :30] Bukankah air itu
sifatnya mengalir? Bukankah air itu sewaktu kecilnya sahabat yang menenangkan,
tika besarnya bala yang memenangkan? Lalu bagaimana mungkin kita bisa merana
lemas dengan segala hal yang mendatang sewaktu aliran tumbesaran ? Bukankah
hidup sememangnya punyai kitaran yang telah Tuhan tetapkan?
Whether we realize it or not, each
day, we’ve been growing stronger. And even if we don’t look backward, we keep
moving forward. So take a deep breath today and ask ourselves, what time has
really done to us?
Or maybe instead, what we had done
to ourselves, within times?